http://www.ziddu.com/download/21362895/AritmetikaSosial.exe.html
Pendidikan Matematika Anak Usia Dini
Rendahnya mutu pendidikan masih disandang
bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan
pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika.
Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran
yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak
usia 0+ tahun.
Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat
perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional
anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis
secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu
kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.
Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan
lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi
dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup
juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50%
kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi
ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 – 18 tahun.
Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak
dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat,
berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing
individu, tidak akan meningkat lagi.
Bagi yang memiliki anak, tentu tidak
ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan
psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi
oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan
psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan
harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan
yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.
Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak
anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun
sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi
perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya.
Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus
diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama,
perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan
fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.
Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan
dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan
informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan
kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya,
terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan
pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan
bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional:
berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi
tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan
memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam
lingkungan sosial.
Para orang tua juga dituntut untuk
memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1
tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk
yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat
pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada
semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya
dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau
benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara
dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6
bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak
belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.
Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun.
Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam
permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak
menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul
kesadaran akan “Akunya”. Anak berubah menjadi pemberontak dan semua
harus tunduk kepada keinginannya.
Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun.
Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun
pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan
lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja.
Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya.
Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak
sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka
mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan
keinginan akan realitas mulai timbul.
Pendidikan Matematika
Untuk pendidikan matematika dapat
diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain
anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan
bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan
memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan
antara satu benda dan yang lainnya.
Anak juga sering menggunakan benda
sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep
matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi
untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau
menemukan masalah.
Pada pendidikan matematika dapat
diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu
diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan
seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan
seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang
bilangan “dua” karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan
dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.
Pengenalan geometri, anak diberikan
berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran
dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang
disebutkan nama dan ciri-cirinya.
Pengenalan penjumlahan dan pengurangan,
pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk
pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, …, dan lima.
Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, …, sampai empat
pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola
yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika
dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami
hakikat “bertambah” dan “berkurang”, yang ditandai perubahan jumlah bola
yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan
warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi
pada jumlah bola yang tampak.
Pengenalan hubungan atau pengasosiasian
antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan
memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu,
bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar
kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika
dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga,
yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak.
Orang Tua “Guru” Kreatif
Peran penting yang dapat dilakukan orang
tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang
dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung.
Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan
mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya,
bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak
dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman
bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak.
Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan
menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan
memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain.
Pengaruh orang tua sebagai “guru” pada
anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam
mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil
centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan
kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.
Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak
bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk
memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini
berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan
bersikap tidak sok kuasa.